Kamis, 20 Oktober 2011

Steve Jobs


Saya bukan pengguna iMac. Saya bukan pengguna iPod. Saya bukan pengguna iPhone. Saya bukan pengguna iPad yang fenomenal itu. Dan saya juga bukan pengguna produk-produk Apple lainnya. Pada dasarnya, saya memang bukan penggemar gadget-gadget canggih. Tetapi, saya adalah salah satu penggemar Steve jobs.

Ya, founder Apple yang terkenal dengan kaos black turtleneck, celana jeans Levi’s 501, dan sepatu abu-abu New Balance 992 itu adalah salah satu entrepreneur favorit saya, selain Richard Branson (founder Virgin). Saya ngefans sama Steve Jobs dan Richard Branson karena mereka memang nyentrik dan keren.

Kemarin, salah satu dari dua orang entrepreneur favorit saya itu telah pergi untuk selama-selamanya. Setelah berjuang melawan kanker prankreas sejak tahun 2004, akhirnya Steve jobs menyerah. Keturunan Arab-American yang juga seorang buddhist dan vegetarian itu beristirahat dalam damai di rumahnya, Palo Alto, California, dengan didampingi sang istri, Lauren Powell, dan anak-anaknya.

The Man with the Turtleneck itu kini telah tiada dan meninggalkan warisan berupa karya-karya inovatif yang telah mengubah dunia. Tapi, kita tidak perlu terlalu meratapi kematiannya. Sebab, enam tahun yang lalu, saat berpidato di acara wisuda Stanford University, dia pernah mengingatkan, kematian adalah penemuan terbaik dalam hidup.

“Death is very like the single best invention of life. It is life’s change agent. It clears out the old to make way for the new,” demikian kata Steve Jobs waktu itu.

RIP Steve Jobs.

***

Berikut ini saya sertakan catatan Azrul Ananda yang berjudul “Tetaplah Lapar, Tetaplah Bodoh”, untuk mengenang almarhum Steve Jobs, yang dimuat di Jawa Pos, edisi Jumat, 7 Oktober 2011.

Tetaplah Lapar, Tetaplah Bodoh

Catatan AZRUL ANANDA

Angkat tangan kalau Anda tidak ikut merasakan sentuhan Steve Jobs. Ketika mengangkat tangan, berpikirlah berulang-ulang: Benarkah Anda tidak pernah merasakan sentuhan Steve Jobs?

Anda mungkin tidak punya MacBook. Tidak punya iPod. Tidak punya iPad. Anda mungkin bahkan termasuk yang tidak suka produk-produk Apple.

Hebatnya, Anda tetap merasakan sentuhan Steve Jobs. Bahkan, pekerja bangunan yang tidak kenal komputer pun pernah merasakan sentuhan Steve Jobs.

Yang pasti, pembaca koran ini pasti ikut merasakan sentuhan Steve Jobs. Sebab, koran ini didesain pakai produk Apple. Kalaupun Anda membaca tulisan ini di salah satu dari ratusan koran Jawa Pos Group yang desainnya tidak memakai produk Apple, Anda tetap merasakan sentuhan Steve Jobs.

Mengapa? Karena tulisan ini diketik pakai MacBook Pro. Dan, yang menulis termasuk penggemar berat Steve Jobs sejak masih SMA dulu.

Belum lagi kalau Anda penggemar film buatan studio Pixar, seperti Toy Story dan Finding Nemo. Itu dulu yang membesarkan juga Steve Jobs. Bahkan, anak-anak kecil sekarang yang menikmati produk-produk Disney juga ikut merasakan sentuhan Steve Jobs. Kenapa? Karena, dialah chairman studio raksasa Amerika tersebut.

Lebih lanjut, Marvel Studio yang belakangan sering memunculkan film-film superhero di bioskop juga kena sentuhan Steve Jobs. Ini karena Marvel sudah dibeli Disney, dan sekali lagi, Steve Jobs pengendali Disney.

Gile. Semua hal keren di dunia ini berkaitan dengan Steve Jobs!

***

Sebenarnya, ada banyak orang yang lebih maniak Apple daripada saya. Ada banyak orang yang lebih paham soal produk-produk Apple daripada saya.

Padahal, saya termasuk pemakai Apple sejak SMA. Waktu masih menjadi siswa pertukaran di Ellinwood, Kansas, pada 1993-1994, saya sudah bekerja pakai Apple. Tim koran sekolah saya (Ellinwood Eagles) memang dilengkapi dengan seperangkat Apple.

Itu berlanjut sampai kuliah, ketika saya mengerjakan tugas-tugas memakai PowerPC (masih ingat?). Padahal, waktu itu tidak banyak yang memakai produk-produk Apple.

Saya kuliah di kawasan Northern California, di kawasan yang sama dengan Apple berada. Jadi, wajar kalau waktu itu saya juga mudah terekspose oleh produk-produk terbaru Apple.

Saya hanya “khilaf” beberapa kali. Sempat membeli komputer berbasis Windows waktu kuliah. Lalu sempat memakai laptop berbasis Windows ketika awal-awal full time di Jawa Pos pada awal 2000-an.

Saya “kembali ke jalan yang benar” pada 2004, setelah liputan grand prix Formula 1 di Shanghai, Tiongkok. Waktu itu, laptop merek Jepang saya disebut “seperti senjata” karena begitu banyak virusnya. Sampai dilarang dipakai sama sekali di media center Sirkuit Shanghai.

Sejak saat itu, saya tidak mau lagi malu, tidak mau lagi repot. Beli Apple terus.

Tapi, yang membuat saya ngefans sama Steve Jobs sebenarnya bukanlah produk-produknya. Saya ngefans karena orangnya memang cool. Saking ngefansnya, saya punya sepatu New Balance 992 “made in USA,” sepatu abu-abu yang selalu dipakai Steve Jobs bersama kaus turtleneck hitam dan celana jins Levi’s 501.

Salah satu film favorit saya adalah Pirates of Silicon Valley (1999), yang menceritakan masa muda dan kiprah Steve Jobs dan Bill Gates. Menceritakan bagaimana Apple dan Microsoft muncul dan berkembang.

Jobs, diperankan Noah Wyle (bintang serial TV E.R.), ditampilkan sebagai sosok yang perfeksionis, intens, dan emosional. Tapi keren. Keren seperti apa? Cari dan tonton sendiri filmnya!

Dan, yang paling keren, adalah cara Steve Jobs berbicara di depan umum, cara dia memperkenalkan produk-produk Apple.

Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan pada jurusan marketing, apa yang dilakukan Steve Jobs saat presentasi merupakan segala hal yang semestinya kita pelajari saat ikut kelas-kelas speech (pidato). Cara mencari perhatian, cara mengundang tawa, cara memunculkan produk, dan cara mengakhirinya. Benar-benar tukang presentasi terbaik di dunia!

Herannya, pidato terbaik Jobs mungkin bukanlah perkenalan produk-produk Apple. Melainkan ketika pidato di acara wisuda Stanford University (juga di kawasan Northern California) pada 12 Juni 2005.

Mungkin, itulah pidato terbaik dalam sejarah. Paling tidak, terbaik yang pernah saya ketahui. Saat itu, Jobs berbicara soal perjalanan hidup, cinta dan kehilangan, serta kematian.

***

Tidak, saya tidak akan menerjemahkan seluruh isi pidato Steve Jobs di Stanford. Lagi pula, kalau diterjemahkan seluruhnya, tidak semua isinya bisa tersampaikan dengan baik dalam bahasa Indonesia.

Judulnya Stay Hungry, Stay Foolish (Tetaplah Lapar, Tetaplah Bodoh). Google saja, pasti ketemu pidato lengkapnya. Saya hanya ingin mengutip beberapa poin yang menurut saya paling keren dari pidato itu.

Pertama, bahwa hal-hal terkecil dalam hidup ini bisa menentukan jalan besar kita di masa mendatang. Drop out dari Reed College, Jobs justru mengambil kelas-kelas kaligrafi. Dari situlah Jobs mendapat inspirasi untuk menciptakan font-font indah dan sederhana pada produk-produk Apple.

“Seandainya saya tidak pernah ikut kelas (kaligrafi) itu, Mac mungkin tidak akan pernah punya banyak typefaces atau font yang proporsional. Dan, karena Windows hanyalah mengkopi Mac, kemungkinan tidak ada komputer yang memiliknya. Andai saya tidak pernah drop out, saya mungkin tak pernah mengambil kelas kaligrafi, dan komputer mungkin tak akan memiliki huruf-huruf indah itu,” begitu kata Jobs.

Yang paling bikin merinding adalah ketika Jobs bicara soal kematian.

“Ketika saya masih 17 tahun, saya membaca kutipan seperti ini: Kalau kita hidup seolah-olah setiap hari adalah hari terakhir, maka suatu hari kita akan benar.”

“Setiap pagi saya selalu melihat cermin dan bertanya pada diri sendiri: Kalau hari ini adalah hari terakhir dalam hidup saya, apakah saya ingin melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini? Ketika jawabannya adalah “Tidak” terlalu sering, maka saya tahu saya harus berubah.”

“Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah alat paling penting yang pernah saya temui, yang membantu saya membuat pilihan-pilihan besar dalam hidup. Karena hampir semua hal, segala ekspektasi dari luar, segala kebanggaan, segala rasa takut terhadap malu dan kegagalan, semua itu tidak ada apa-apanya di depan kematian. Mengingat bahwa kita akan segera mati adalah cara terbaik untuk lepas dari jebakan pola pikir, bahwa kita bakal kehilangan sesuatu. Kita ini sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti isi hati.”

Kemudian:

“Tidak ada yang ingin mati. Bahkan, orang yang ingin pergi ke surga tidak ingin mati dulu sebelum sampai di sana. Tapi, kematian adalah tujuan kita semua. Tidak ada yang pernah berhasil lolos dari kematian. Dan, memang harus begitu. Kematian mungkin adalah penemuan terbaik kehidupan. Kematianlah yang bisa mengubah kehidupan. Mengosongkan yang lama dan memberi jalan untuk yang baru.”

“Saat ini, yang baru adalah Anda semua (para wisudawan Stanford, red). Tapi, tidak lama lagi, Anda pun akan jadi tua dan dibersihkan. Maaf harus menyampaikannya sedramatis ini, tapi begitulah kenyataannya.”

Di penutup pidatonya, Jobs mengutip The Whole Earth Catalog, ciptaan Steward Brand. Jobs menyebut itu sebagai “Google” era tersebut, memberi panduan hidup di saat dia masih berusia muda. Pada edisi penutup di pertengahan 1970-an, ada gambar jalan kosong menuju entah ke mana. Lalu ada tulisan: “Stay Hungry. Stay Foolish.”

Bila The Whole Earth Catalog memberikan pesan itu kepada Steve Jobs dan generasinya, Jobs melanjutkan pesan itu kepada para wisudawan (generasi muda). Bahwa masa depan entah seperti apa. Tapi, mereka bisa berupaya dan terus mencoba untuk mencapai sesuatu.

Steve Jobs kini telah tiada. Entah dari mana barang-barang keren serta ide-ide baru yang memperindah peradaban bakal muncul di masa mendatang. Mungkin Apple masih bisa menciptakan hal-hal yang mengejutkan. Mungkin juga tidak.

Tanpa Steve Jobs, kini dunia modern seolah menatap jalan kosong entah ke mana. (*)






dishare untuk memotivasi pembaca ranumedia.blogspot.com :)

0 comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Design by Enggar Ranu Hariawan | Best view with Mozilla Firefox 5.0.x version or above, at 1024x768 pixels resolution.

This site using Adobe Flash Player v9.0 or above and `Javascripts Enabled' on your browser

..