Anda juga tentunya mengenal iPod atau alat pemutar musik mp3 player lainnya, mengapa kita tidak berpikir bahwa gadget-gadget tersebut sudah tidak asing lagi. Sementara handphone yang Anda gunakan pada umumnya, hampir semua membenamkan mp3 player sebagai media tambahan selain telepon dan SMS (Short Message System).
Terpikirkan jugakah, mengapa Anda atau teman-teman Anda lebih senang menghabiskan waktu di Starbucks Coffee atau J’Co Donnut yang lebih terkesan sangat bergaya Barat. Padahal, secangkir kopi racikan Starbucks Coffee di Negara asalnya di Seatle, Amerika Serikat, lebih mahal enam sampai delapan kali dari harga racikan kopi di pinggir jalan di Amerika Serikat yaitu $. 50 sen1
Tidak kah sekarang ini, setelah beberapa fakta yang saya hadirkan kepada Anda sebagai awal daripada Paper saya, memancing Anda untuk bertanya lebih jauh lagi? Maka Paper ini tepat untuk membantu Anda memahami, ada apa dibalik semua kejadian yang bersamaan ini.
B. Fokus Masalah
Paper saya ingin mengajak Anda mengetahui bahwa ini adalah suatu fenomena yang mendunia, yang kemudian membentuknya menjadi suatu budaya atau kultur tren. Sehingga, maka hampir seluruh masyarakat secara bersamaan mengenakan celana Jeans, menggunakan iPod, atau bahkan menginvestasikan waktu luang mereka di Starbucks Coffee.
Berikut adalah gagasan-gagasan untuk memahami fokus paper saya:
1) Apa itu Budaya?
2) Apa itu proses Globalisasi Budaya?
3) Faktor-faktor apa saja yang mendorong proses Globalisasi Budaya?
4) Apa dampaknya pada Kebudayaan dan Identitas Nasional?
Penguraian Definisi
Paper yang saya buat berjudul “Globalisasi Budaya Ditengah Masalah Identitas Nasional”, dimana yang menjadi fokus utamanya adalah budaya. Saya ingin sekali menegaskan, bahwa globalisasi terhadap budaya dalam konteks globalisasi budaya tidak menyebabkan hilangnya budaya itu sendiri. Selain itu, mengingat bahwa dunia berkembang menuju kemajuan, seringkali budaya dikait-kaitkan dengan globalisasi. Maka, didalam paper ini akan erat kaitannya terhadap globalisasi budaya, dan membawa anda untuk memahami secara ringkas bahwa globalisasi budaya tidak terlalu buruk seperti yang dibayangkan.
Dalam pranala Wikipedia, didapatkan arti daripada budaya sebagai berikut:
“Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.”2
Dengan demikian, dapat di identifikasikan bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari manusia melalui suatu proses berpikir dan bertindak. Hal itu dijelaskan bahwa budaya memiliki kaitan dengan budi dan akal manusia. Sementara, mengolah tanah atau bertani juga melalui proses-proses berpikir dan bertindak itu sendiri. Sedangkan para ahli, mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai budaya. Menurut Edward B. Taylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adatistiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sementara itu Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, menurut mereka Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.3
Satu kesamaan dalam definisi tentang kebudayaan menurut para ahli, adalah variabel yang menyusun kebudayaan sehingga dikatakan demikian, dan semua itu memiliki sumber yang sama adalah masyarakat. Jadi, masyarakat sangat memiliki peranan yang banyak dalam membentuk kebudayaan. Dalam hal ini, tentunya sifat solid yang dimiliki oleh masyarakat sebagai suatu kesatuan komunitas yang membentuk budaya, akan mampu mempertahankannya.
Dalam definisi globalisasi menurut beberapa ahli, salah satunya adalah Jan Aart Scholte mengatakan globalisasi adalah, “serangkaian proses dimana relasi sosial menjadi relatif terlepas dari wilayah geografis”. Sementara bilamana menilik definisi budaya, diatas, maka bisa diartikan bahwa globalisasi budaya adalah, “serangkaian proses dimana relasi akal dan budi manusia relatif terlepas dari wilayah geografis”.
Hal ini memunculkan jalinan situasi yang integratif antara akal dan budi manusia disuatu belahan bumi yang lain dengan yang lain. Sementara itu, dalam pandangan kaum hiperglobalis mereka berpendapat tentang definisi globalisasi budaya adalah, …homogenization of the world under the auspices of American popular culture or Western consumerism in general.4
Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses homogenisasidunia dibawah bantuan budaya popular Amerika atau paham konsumsi budaya Barat pada
umumnya.
Definisi hiperglobalis tersebut, jika bisa disamakan dengan keanekaragaman istilah globalisasi pada umumnya, yang salah satunya adalah Westernisasi. Dimana ada penyebaran kebudayaan Barat terutama kebudayaan Amerika. Namun, jika dilihat lebih lanjut, definisi dari paham hiperglobalis tidak bisa lepas daripada sifat-sifat yang cenderung mengandung pikiran ekonomi, atau berorientasi ekonomi.
Hal itu jelas dapat dilihat dan dinilai, dari penekanan paham konsumsi terhadap budaya Barat pada umumnya. Jadi bisa juga diartikan bahwa, budaya Barat adalah budaya yang diperjual-belikan, sementara masyarakat dunia pada umumnya adalah konsumen yang menikmati. Sehingga munculah kondisi dimana istilah Westernisasi digunakan sebagai simbolis terhadap sifat konsumerisme tersebut. Baik itu konsumsi terhadap bentuk pemerintahan atau sistem politik, mekanisme pasar atau paham ekonomi, bahkan hingga bentuk celana Jeans atau kebudayaan.
Masih menyangkut tentang globalisasi budaya, dari definisi tersebut maka lahirlah apa yang dikatakan sebagai global pop culture. Global Pop Culture adalah budaya tren dalam suatu wilayah atau region yang kemudian dipopulerkan hingga ke taraf dunia atau lingkup global.5
Selain itu apa sajakah faktor-faktor yang mendorong proses globalisasi budaya, setelah kita tahu definisi dari proses globalisasi budaya. Berbicara mengenai faktor, sama seperti berbicara mengenai alasan, sehingga tentunya akan muncul banyak alasan atau faktorfaktor yang membentuk sesuatu tersebut menjadi sebuah masalah.
Dalam sebuah situs atau pranala, dikatakan sebagai faktor utama penyebab globalisasi budaya adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi, khususnya pada awal abad ke-20.6
Sementara itu, pranala lainnya yang membahas tentang global pop culture menyatakan sejumlah faktor penyebab terjadinya globalisasi budaya adalah sebagai berikut:
“causes included the development of new technologies and the economic globalization of
capital, labor, natural resources, production, and consumption. Political factors also played
a role, from imperialism and nationalism to totalitarian states and the Cold War; so to did
social struggles over the construction of race, class, ethnicity, religion, and gender.”7
Ternyata, perkembangan teknologi tidak semata menjadi faktor utama, dalam hal ini globalisasi ekonomi juga ikut berperan, bahkan hingga kepada faktor-faktor politik. Hal ini juga menjelaskan mengapa globalisasi tidak terlepas dari politik, ekonomi, bahkan budaya, yang ditenggarai sebagai globalisasi ketiga8 Masuk kepada pembahasan definisi selanjutnya, dalam paper ini, saya juga akan membahas tentang dampak globalisasi budaya terhadap kebudayaan itu sendiri dan identitas nasional. Akan tetapi, saya dalam bagian ini saya tidak akan membahas terlalu dini tentang itu, hanya saja saya merasa perlu untuk memberitahukan Anda mengenai identitas nasional.
Pembahasan
1) Penyebaran global pop culture sebagai hasil daripada globalisasi budaya
Globalisasi Budaya yang dirasakan sebagai satu kesatuan paket dari globalisasi-globalisasi lainnya, dikatakan sebagai globalisasi ketiga. Diminique Wolton, Kepala Pusat Kajian Center of National Research Scientific (CNRS) Prancis, dalam kesempatannya ketika berkunjung ke Indonesia pada tanggal 13 Desember 2004 menyatakan, “Dunia dewasa ini akan memasuki perkembangan baru globalisasi. Setelah globalisasi politik dan globalisasi ekonomi umat manusia memasuki globalisasi budaya. Globalisasi politik dimulai dengan terbentuknya PBB. Sedangkan globalisasi ekonomi dimulai sejak perdagangan bebas dalam kurun waktu antara tahun 70-an. Dari ketiga globalisasi tersebut, sektor budaya lah yang paling sulit dilakukan. Sedang yang paling mudah adalah globalisasi ekonomi…”10
Pernyataan Diminique mengenai sulitnya globalisasi budaya untuk dilakukan, tentunya belum mampu dipastikan sebagai berita baik bagi kalangan pendukung globalisasi. Hal ini tentunya akan menjadi pendorong yang tepat bagi kaum skeptis untuk terus menolak globalisasi, meskipun globalisasi tidak dapat dihentikan begitu saja, kabar baiknya globalisasi budaya terus saja berjalan hingga sekarang ini. Sehingga berhasil memunculkan suatu istilah global pop culture, sebagai suatu bukti adanya globalisasi budaya ditengah tentangan kaum skeptis.
Kehadiran global pop culture atau budaya populer global, secara sejarah tidak dapat terlepaskan dari perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan 20. Pada abad ke-19 pembangunan pada aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel-novel menjadikan jarak yang terpisah antar suatu masyarakat di suatu belahan dunia terhadap belahan dunia lainnya untuk mengakses tren kultur, tidak terhambat oleh masalah tempat. Masuk kepada abad-20 penemuan radio, televisi, dan komputer menjadikannya fenomena dalam perluasan akses. Hasilnya, tren kultur popular pada suatu regional tertentu dengan mudah menyebar ke belahan dunia lainnya, dimana budaya itu bisa dimodifikasi oleh tradisi lokal dan bisa menjadi salah satu yang termasuk kultur popular lokal.11
Seperti yang disebut-sebut pada bagian pengantar; celana Jeans adalah celana panjang yang secara tradisional terbuat dari denim, tetapi juga dapat dibuat dari variasi benang-benang kecuali corduroy. Kemudian, pada tahun 1850 Levi Strauss, menjual celana Jeans biru atau blue Jeans dibawah nama dagang “Levi’s” kepada komunitas tambang di California-Amerika Serikat. Sehingga, pada umumnya Jeans biru dikenakan sebagai celana panjang oleh para pekerja, khususnya di industri-industri selama Perang Dunia ke-II; sekarang menjadi tren atau budaya populer global setelah Levi Strauss (Levi’s) mendapat hak paten pada tahun 1973 dan mendominasi pasar celana Jeans (blue Jeans).12 Yang hingga sekarang pun tetap populer.
Fenomena novel Harry Potter adalah salah satu kasus yang terkait dengan kultur populer global. Fenomena Harry Potter sangat luas, sebagai salah satu daripada kultur populer global. Setiap penggemar Harry Potter diseluruh dunia secara serentak mengantri di toko buku hingga tengah malam, yang adalah ciri khas daripada setiap peluncuran novel Harry Potter setiap tahunnya. Dresscode tertentu juga ikut meramaikan setiap peluncuran perdana per edisi Harry Potter. Mulai dari jubah khas Hogwarts hingga tongkat sihir, bahkan bahasa sihir yang digunakan di dalam novel Harry Potter timbul seperti hegemoni yang terkadang tidak mampu untuk dilupakan. Sebut saja “accio”, “leviosa”, atau “avada kedavra”.
Bukan hanya Harry Potter, kemunculan The DaVinci Code, juga mempopulerkan lukisan Perjamuan Kudus, dan menghadirkan berpuluh-puluh buku atau novel epik baru yang mengguncang iman umat Kristiani.
Anda juga tidak akan pernah menyangka, bahwa sepak bola yang Anda gemari, khususnya para lelaki, adalah produk daripada budaya populer global. Terlebih lagi ketika Anda ternyata mengenakan kaos atau sepatu bola yang seperti digunakan oleh para pemain bola idola Anda. Bahkan Anda atau café-café kegemaran Anda akan sangat bersedia menyediakan ruang lebih untuk mengadakan acara “nonton bareng”, baik itu Piala Dunia,
Saya pun ingin menegaskan, bahwa globalisasi budaya dalam konteks budaya populer global memiliki orientasi yang juga bersifat kepentingan ekonomi. Dengan adanya Harajuku, Levi’s, Euro Championship, iPod, MP3, dan handphone; globalisasi ekonomi melalui globalisasi budaya mencoba untuk memahami minat pasar terutama kebudayaan, untuk terus melakukan ekspansi produk, sehingga mampu dan tepat untuk diterima dalam sejumlah aspek yang hendak dituju.
Starbucks Corp., terutama kedai Starbucks di Tokyo, Jepang, adalah kedai pertama yang dibuka diluar Negara asalnya.16 Bukan tanpa sebab, Starbucks Corp., memandang globalisasi ekonomi secara tepat yang kemudian dipadu-padankan dengan globalisasi budaya. Sehingga, meskipun memberanikan diri untuk membuka kedai pertama diluar Amerika Serikat, terutama di Asia, Jepang, Starbucks Corp., tetap menganut kebudayaan Jepang dengan baik dan menyesuaikan diri. Hal ini bisa dilihat dengan penyesuaian nama-nama Starbucks Corp., disejumlah Negara-negara tertentu: (1.) “Arabicspeaking
countries: سكبراتس (Pronounced the same way as in English), (2.) China, Taiwan,
Hong Kong: 星巴克 Pinyin: xīng bā kè (星 xīng means "star", while 巴bā 克kè is a
transliteration of "-bucks"), (3.) Israel: 4) ,סקבראטס .) Japan: スターバックス transliteration
(sutaabakkusu), (5.) South Korea: 스타벅스 transliteration (seu-ta-beok-seu), often used in
conjunction with the English name, (6.) Quebec, Canada: Café Starbucks Coffee [21] (added
the French word to avoid controversy with local language politics), and (7.) Thailand:
สตาร์บัคส์ transliteration (sa taa bak)”17
KESIMPULAN
Meskipun kapitalisme berpengaruh besar kepada budaya populer global, dalam kaitannya dengan globalisasi budaya sekarang ini, indikasi bahwa globalisasi kebudayaan adalah sumber utama yang menjadikan hilangnya identitas nasional, dirasakan perlu redefinisi terhadap identitas nasional itu sendiri. Sebab, meskipun sudah diketahui bahwa identitas nasional adalah simbolisasi terhadap individu teritori, kemampuan masyarakat khususnya Indonesia tidak cukup baik dalam mempertahankan kebudayaan mereka sendiri sebagai suatu identitas.
Hal ini adalah kerugian bagi para pendukung globalisasi, khususnya juga globalisasi budaya, yang akhirnya menjadi aktor-aktor yang terlibat penuh dalam aktifitas globalisasi budaya (bahkan cenderung menikmati) selain masyarakat luas, yang beberapa diantaranya bukanlah pendukung globalisasi namun menaruh semua kesalahan akibat globalisasi budaya kepada para pendukung globalisasi. Buktinya, masyarakat luas pun ikut menikmati globalisasi, khususnya globalisasi budaya, meskipun ada tentangan dari sejumlah masyarakat lainnya akan globalisasi budaya yang sampai sekarang masih terus berjalan, hal tersebut bukan menjadi suatu jaminan yang cukup baik bagi masyarakat luas untuk tidak hidup dalam modernitas globalisasi.
Padahal globalisasi budaya hanya bertujuan untuk mendekatkan budaya lokal kepada budaya-budaya diseluruh dunia dalam satu kesatuan. Seperti pada sebuah search engine (google, yahoo, MSN, plasa, dll) dimana kita mampu mencari segala macam kejadian atau tren dan sebagainya, dalam sekali sentuhan jari. Maka, untuk apa kita menyimpan budaya sendiri, sementara kita adalah bagian daripada masyarakat global yang seharusnya tidak perlu canggung menerima globalisasi budaya ditengah-tengah budaya pribadi. Sebab seharusnya, kita tidak perlu berlaku demikian.
0 comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.